senandung sahabat
tak bisa melantun,terlebih berdendang... hanya bisa bersenandung... untukmu,Sahabat...
Senin, 13 Oktober 2008
Titip rindu buat Bapak



Sebuah pesan singkat dari seorang sahabat dekat menyiutkan klep jantungku…
“Beliau sudah berpulang jam 10.05 pagi tadi”

Hari itu, Sabtu tanggal 11 Oktober 2008

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun
Segalanya datang dariNya dan akan kembali padaNya....

Aku menangis...
Bukan untuk sahabatku yang sudah ikhlas melepas..., tapi untuk rasa kehilangan akan seorang lelaki tua yang dipanggilnya, Bapak...


Untuk semua Bapak di dunia ini, aku bersenandung...


Bapak..
Kelam hari itu, menanti hadirmu...
Seperti biasa kala pagi kau terjaga,
Peluhpun tak kuasa berkesah...
Dipundakmu yang tak sekokoh cemara,
Kau panggul cinta dalam balutan asa...
Sebagai raja ataupun penjaga,
Terima kasih Bapak, telah buatku bangga...

Semburat keriput adalah pahatan semesta ditubuhmu yang kian melayu...
Ada keteguhan meski hidup bak jalanan yang berliku...
Kini di semakin senja usiamu..
Malampun meluluh,
Merindumu dengan tatap yang kuyu..
pada munajatmu yang kian mengusik kalbu...

doamu telah berikan ku sayap..
walau ku dengar lamat-lamat...
hatiku sungguh tersayat...

Bapak,
Kini aku merindumu...
Dalam titian hari-hari yang membisu
Dalam helaian napas yang mengharu biru
Dan mautpun tak kan sanggup halaukan rindu sendu itu....


Bwangi, 13 Okt ’08

Label:


read more
posted by Bagas n Bunda @ 11.48   0 comments
Senin, 06 Oktober 2008
Berlebaran di Hotel Prodeo
Sahabat,

Ini lebaran pertama buat Kami berkesempatan mengunjungi saudara-saudara kita yang ada di lembaga permasyarakat. Itu karena satu diantara mereka kebetulan adalah teman dari kakek bagas, yang sudah 5 bulan ini mendekam di sana. Gara-garanya sepele, Pak Haji yang teman Kakek Bagas ini terlibat aksi demo para penegal yang nggarap tanah milik perhutani. Berpuluh-puluh tahun tidak terjadi masalah, tiba-tiba satu tahun belakangan ini perkaranya menyoal ke permukaan.
Tidak jelas siapa yang benar siapa yang salah, akhirnya Pak Haji bersama sekian puluh teman penegal lainnya keciduk aparat setelah sebelumnya ikut dalam arus ribuan massa pendemo di depan kantor dewan.

Pengalaman pertama menginjakkan kaki di altar perjara, membuat Bulu-bulu Bunda tergidik, haru bercampur bingung. Terlebih karena terlalu lama Berdiri diantara antrian ribuan pembesuk yang lain, dada Bunda terasa sesak. Mungkin karena lagi lebaran, dan jam berkunjung di LAPAS tidak dibatasi, setiap orang yang mempunyai kerabat atau teman yang sedang menjalani hukuman di sana, ingin berbagi kebahagian berlebaran. Kebahagian yang coba ditebus dengan serantang hantaran yang dibawakan langsung dari rumah.

Di depan gerbang, Pak Sipir penjara tak henti-hentinya menggretak, menghalau pembesuk yang semakin siang semakin susah diatur. Karena matahari kian terik sementara pembesuk yang baru datang, seperti tak terbendung banyaknya. Posisi kami pesis ada di tengah-tengah antrian, mau maju susah terlebih untuk berbalik ke belakang. Bayangkan, untuk sekedar bisa menemui sanak kerabat dan sahabat yang ada di dalam sana, kita mesti antri mengambil nomor di loket, antri melewati pintu yang dibuka tak lebih dari separuhnya, antri menyerahkan kartu identitas pada sipir penjara yang menjaga meja. Belum lagi antrian-antrian yang lain dengan melewati pagar dan pengamanan yang berlapis.



Tiba di dalam LAPAS kemudian masuk ke aula yang lumayan lebar namun pengap saking banyaknya orang, membuat suasana semakin panas. orang-orang saling berdesakan dengan mata sibuk mencari-cari kerabat dan sahabat yang ingin dikunjungi. penghuni dan pengunjung berkumpul jadi satu. tak ada jeruji besi seperti yang ada di bayangan Bunda sebelum ke sini, tak ada tabir masif yang membedakan kecuali para penghuni LAPAS dengan seragam warna orange mencolok. keagungan Lebaran telah meruntuhkan keangkuhan kerangkeng penjara yang selama ini memisahkan pesakitan dengan keluarganya.

Suasana haru mulai menyeruak tatkala pembesuk bertemu dengan kerabat atau sahabat di dalam sana, peluh bercampur isak dan tangis pengobat kerinduan setelah sekian lama tak bersua. Seorang nenek yang mengenakan kebaya dan kain sarung begitu menarik perhatian Bunda. Sosoknya sangat sederhana, kuyu, kelihatan kalau hidupnya banyak ditempa kesusahan dan kemiskinan. Ketika lelaki tua keluar dari pintu kecil dekat lorong dengan mengenakan kaos bertuliskan ”Binaan Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi” perlahan menghampirinya, air mata nenek ini mulai berjatuhan. tak kuat menahan tangis, segera dia usap iluh itu dengan kerudung kumal panjang yang dikenakannya. Tak terdengar kata-kata dari mulutnya, selain tangannya yang terus menadahi airmata yang menetes. Dari sebelahnya seorang perempuan yang usianya lebih muda, mencoba menenangkan ”Wis Mak, wis mak...”
Lelaki tua itu semakin mendekat, dengan langkah gontai dengan kaki tanpa alas. Merekapun berpelukan, dengan tangan perempuan tua yang masih menyangking tas plastik warna hitam.
Ntah kesalahan apa yang telah diperbuat oleh Bapak tua ini. Tapi opera singkat yang tersaji di depan Bunda kali ini, benar-benar membuat dada semakin sesak.
Orkestra airmata yang luar biasa....

Matapun menerawang....
di depan, di sudut pandang yang lain, Bunda lihat Kakek Bagas sedang berangkulan dengan lelaki yang umurnya kira-kira sebaya dengannya. Rupanya itulah Pak Haji yang sedari tadi dicari-cari. Terlihat lebih kurus mesti di wajahnya menampakkan ketabahan.
Kulihat merekapun tak kuasa menahan haru.
kembali ku saksikan orkestra air mata....

Ntah atmosfir apa yang melingkupi hotel predeo ini, semua wajah mengisyaratkan kesedihan, walaupun ada juga sebagian yang tertawa-tawa, menertawaan nasib mereka sendiri...

Lama di tempat pengap seperti itu, Bagas pun mulai meronta. Ditarik-tariknya tangan Bunda, mengajak keluar dari keramaian di antara para pesakitan.
Berjalan ke arah gerbang keluar lapis pertama, di bawah atap terpal yang panjang, juga berjubel manusia-manusia sedang berbagi kasih lebaran. Tak terbilang banyaknya pesakitan yang berkumpul, ada penjahat, banyak juga mantan pejabat.
Bunda lihat ada Bapak mantan bupati banyuwangi yang sedang menjalani masa kurungan di sana, mantan sekda, mantan camat, mantan lurah, rakyat biasa... semuanya menjalani penggodokan yang sama, menjalani hari-hari yang sepi tanpa kehadiran keluarga selalu di sisi. Kematangan spiritual seperti apa yang hendak mereka capai selepas dari LAPAS ini, hanya mereka sendiri yang bisa mengukur.
Tulisan spanduk ramadhan masih terbentang di atas gerbang lapis pertama, ”Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga menjadi insan yang taqwa dan taubat”

Di gerbang lapis terakhir, bunda merasakan kelegaan yang luar biasa, udara kebebasan seperti ini mungkin yang segera ingin mereka rasakan...
Dengan berucap Alhamdulillah..., Tuhan masih berkenan berikan kami kesempatan mengecap sedikit kelaraan mereka, dan menukarnya dengan sejuput kebahagiaan yang kami punya.

Bagaspun semakin meronta, kali ini bukan karena gerahnya udara, tapi merajuk untuk bisa dibelikan pistol-pistolan di abang penjual klontong yang mangkal di depan tahanan. rupanya dia baru saja terinspirasi dengan Pistolnya Pak Sipir di dalam sana.

Di sepanjang jalan pulang, Bagas tak henti-hentinya bertanya, tentang orang-orang di penjara yang baru saja dilihatnya...., tentang Pak Sipir dengan pentungannya.....
Sampai akhirnya, ”Bunda, kenapa tangan orang yang dipenjara itu gak dikasih borgol kayak yang di tipi-tipi ?”

dan Bundapun tertegun
.....
..............
........................

Ooolah Nak, Maafkan Bunda...,
Ternyata selama ini kamu lebih banyak sekolah dari tayangan di tv sana, ketimbang sekolah dari alam di sekitar mata.

Label:


read more
posted by Bagas n Bunda @ 15.19   0 comments
About Me

Name: Bagas n Bunda
Home: Banyuwangi, Indonesia
About Me: Aku dan Bunda adalah harmoni dunia... Bunda ada untukku, dan aku ada untuk Bunda... Kami tak enggan bersenandung bersama, mencipta simponi sederhana, dan semuanya kami persembahkan untukmu, Sahabat Dunia...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Friend

Kamu adalah sahabatku ke :

Web Counters
Links
Powered by

BLOGGER

speedy